Home » » Milikku atau Milik-Mu?

Milikku atau Milik-Mu?

Posted by Blog Amri Evianti on Wednesday 30 January 2019



Awan hitam tengah bergelayut, saat motor maticku membelah jalananan aspal hitam. Perlahan namun pasti, rinai air langit mulai menitik. Kutambah kecepatan, berharap aku bisa melarikan diri dari kedinginan. Namun, belum sampai angka spedometer menyentuh angka 80 KM/ jam, aku memilih berdamai, dengan mengarahkan motor ke pintu gerbang salah satu sekolah dasar pinggir jalan. Pintu gerbang, yang memiliki atap yang lebarnya tidak lebih dari satu setengah meter itu, cukup melindungi tubuhku dari air hujan. 

Dengan masih duduk di atas motor, ku seka wajah menggunakan kedua telapak tangan, yang sudah basah dengan air hujan. Di sampingku, berjarak beberapa langkah. Ada pemuda, yang sedang berteduh dari hujan, tampak melirikku sesaat. Kuanggukkan, kepala pertanda mengakui keberadaannya di sana. 

"Jemput, atau berteduh, Mas?" Tanyaku berbasa-basi memecah kebisuan. Kebetulan, tampak anak-anak yang sedang pulang dari latihan pramuka. 
"Berteduh," ujarnya datar. 
Pelit amat nih, bocah. Pikirku. Ya ... bocah, dia tampak seperti pemuda berumur belum lebih dari dua puluhan tahun. Sedangkan, aku? Ahh lupakan, umurku yang tak lagi muda. Kulirik, pemuda itu sekali lagi, yang tampak menggunakan kaos hitam dan celana jeans. Tampak, ada lubang di bagian bawah lututnya.

Belum sempat, aku meluncurkan pertanyaan lanjutan. Adzan berkumandang dari arah masjid sekolah. Ia, tampak sibuk membuka jok motornya. Mengambil sarung dan baju Koko berwarna putih. 

"Mbak, titip motor ya. Saya mau sholat dulu." Ia berlari menerjang hujan, meninggalkan motor dengan kunci yang masih menjuntai di jok belakang. Aku hanya melongo, nggak kenal nggak apa, ia jadi sok kenal. Pakai acara titip motor segala, ampun dah?


Hujan masih menghilir dengan patuh. Sedangkan risau telah menghukum ku sejak tadi. Bagaimana jika motor ini adalah motor curian? pada saat yang sama aku sedang berada di dekatnya. Sesekali aku menepuk kening, berharap pikiran-pikiran jahat luruh dalam otakku. Ini akibat seringnya menonton film penuh drama, pikirku. 

Bulir-bulir keringat mulai mengumpul, sebagai kode bahwa dari dalam sana, ada hal yang kutakuti tidak dapat dibohongi. 

"Hei ... Mbak! tegang amat!" Tanpa kusadari bocah tengil itu sudah memporak-porandakan imajinasiku. Ia berdiri di depanku berjarak tiga meter. Baju Koko dan sarung sudah masuk dalam plastik transparannya. Masih ada sisa air wudhu di bagian depan rambut miliknya tampak basah. 

"Apaan sih ... Nih kunci motormu!" Ku lempar kunci motornya, dan ia dengan sigap dapat mendapatkannya melalui tangkapan tangannya. 

" Emang udah biasa ya ninggalin motor sembarangan?" tanyaku penasaran.

"Enggak juga sih, Mbak. Baru kali ini," jawabnya tak acuh.

"Nggak takut apa aku bawa lari?"
"Buat apa takut, Mbak. Motor aja ini pinjaman ...." Ia terkekeh. 

"Pinjaman? harusnya lebih hati-hati dong?"
"Iya ... iya ... Mbak. Lain kali lebih hati-hati. Tadi udah nggak keburu buat tahan untuk buang air kecil. Lagi pula, masa' iya Mbaknya berjilbab mau bawa motorku tanpa izin. Kalau hatiku boleh Mbak, dibawa kabur semaunya." Ia kembali meledekku.

"Eh ... motor pinjaman siapa?"
"Dipinjami Allah, Mbak. Berhubung ini pinjaman, jadi kapanpun diminta bukannya aku hanya perlu mengembalikannya? Makanya aku menitipkan motor ini pada Mbak, tanpa perasaan khawatir. Karena sejatinya kendaraan itu bukan milikku." Ia berbicara tanpa memandang ke arahku.

Aku menelan ludah yang terasa seperti duri, terasa sakit untuk ditelan. Hujan di hatiku kian deras, meski hujan di dunia sesungguhnya berangsur reda. 

Ya Asyiqol Musthofa Absyir Binailil Muna
Ya Asyiqol Musthofa Absyir Binailil Muna
Qoq Roqoka susshofa as Shofa as shofaa
Watoba Wafdul Hana Qod Roqoka susshofa
Watoba Wafdul Hana 

Terdengar nada dering sholawat handphonenya. Semakin lama semakin keras karena si handphone tak kunjung di temukan dalam tas ransel miliknya. 

"Assalamu'alaikum ..." Ia mengucapkan salam terlebih dahulu. 

"Iya ... Mas, maaf saya terjebak hujan. Ini sudah sedikit reda. Saya usahakan bakda magrib saya sudah sampai di majelis sholawat."

Aku kembali kaget, sebenarnya ini mahluk dari planet mana. Aku memilih melarikan diri dengan menghidupkan motor. Aku sudah tidak bisa menyembunyikan merahnya mukaku. 

"Wahai perindu nabi pilihan bergembiralah dengan memperoleh harapan
Telah bersinar piala bukit shofa, dan bahagia golongan yang mempunyai nasab rendah." 

Arti sholawat yang menjadi nada dering ponsel laki-laki yang tak kuketahui namanya itu, ku eja dalam hati. Aku jadi teringat teman sekelas di kampusku yang dengan lantang mengatakan tak ada manfaatnya memperingati maulid nabi saat diskusi kelas. Dadaku seperti ditusuk sembilu mengingatnya. Suatu saat aku ingin bersholawat dengan keras di hadapannya. 


3 komentar:

  1. Subhanallah banget ya Mba, jaman sekarang masih ada lelaki seperti itu. Aku baca tulisannya kok jadi kesemsem sendiri ya? Haha. Jujur aku bayangin adegan per adegannya lho. Lucu juga ya. Tapi karena itu akhirnya kita jadi ingat lagi ke Allah. Emang ini semua pinjaman ternyata. :(

    ReplyDelete
  2. Ternyata, di balik pakaian dan gayanya yang "seperti itu", anak laki-laki yang ditemui si embak punya sisi lain yang positif, ya? Dan peribahasa "jangan menilai buku dari luarnya saja", terbukti di tulisan cerpen ini.

    ReplyDelete
  3. Thanks for sharing, sukses terus..

    ReplyDelete

Komentar apa aja deh yang penting nggak SPAM, sok kenal juga nggak apa, saya juga suka sok kenal ma blogger lainnya hehe
Terimakasih dan selamat datang kembali.

Banner IDwebhost

Translate

.comment-content a {display: none;}