Menjadi penyandang Disabilitas bukanlah sebuah penawaran dari Tuhan untuk setiap ciptaanNya, hal itu sudah
menjadi ketetapan Tuhan bahwa si A atau si B harus menjadi bagian dari dunia
Disabilitas atau sebut saja Difabel. Saya meyakini bahwa Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan bentuk
yang seindah-indahnya. Tidak ada yang sia-sia dari setiap ciptaanNya, semua mem
punyai peran dan tujuannya masing-masing .
Terkadang pesan atau pelajaran
dari Tuhan tidak langsung di ajarkan oleh Tuhan sen diri,justru ciptaanNyalah yang menjadi sumber inspirasi bagi siapa pun yang dapat mengkaji
dari setiap pesan yang Tuhan
kirimkan lewat ciptaanNya. Berbicara pesan Tuhan saya teringat dengan sosok-sosok luar biasa dari
Pusat Studi dan Layanan Difabel di
kampusku.
Kata Difabel sendiri
merupakan kepanjangan dari “Different abilities” yang mempunyai makna “perbedaan kemampuan”. Kata
Difabel sendiri merupakan terma
baru untuk menggantikan istilah “penyandang
cacat”, keterangan ini saya dapatkan dari buku “Membangun Kampus Inklusif Best Practicies
Pengorganisasian Layanan Difabel” Buku yang disusun oleh Ibu Ro’fah dkk.
Sebuah buku yang diterbitkan oleh Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun
2010.
Kata Difabel memang lebih layak untuk
sahabat-sahabat yang mempunyai
kekurangan fisik seperti mendengar, melihat, berbicara atau lain sebagainya,dibanding
dengan sebutan Penyandang Cacat. Menurut hemat saya kata penyandang cacat
secara tidak langsung memberikan asumsi
yang negatif untuk para sahabat difabel.
Berbicara tentang sahabat
difabel,seumur hidupku baru kali ini aku
bertatapan langsung dengan sahabat yang mempunyai daya juang dan semangat
yang tinggi. Baru kali ini pula aku bisa
berkomunikasi secara langsung dengan mereka yang memang secara fisik kami berbeda, karena sudah menjadi rahmat bagi alam bahwa manusia
diciptakan dengan bentuk fisik dan potensi diri yang berbeda-beda pula.
Cerita ini tentang sosok mahasiswa di kampusku yang
mempunyai kemampuan berbeda atau
bisa disebut Different Ability .Sebut
saja namanya Anggresia, kami dipertemukan
di sebuah tempat yang memuat banyak
inspirasi, tepatnya di sebuah Pusat Studi dan Layanan Difabel . Di Pusat Studi dan Layanan Difabel
inilah yang membuatku banyak belajar
tentang menghargai,belajar tentang mensyukuri atas semua pemberian Tuhan.
Anggresia seorang mahasiswi yang
tergolong adik tingkatku ini mempunyai perawakan
kecil sama sepertiku, tapi bedanya aku agak besar sedikit hehehe, dia juga
periang dan ramah. Anggresia dianugerahi
kelengkapan fisik normal jika kalian bertemu pertama kali dengannya, mempunyai
paras ayu pula. Hanya Tuhan mempunyai rencana
lain dibalik kelengkapan fisiknya, dia hanya diperkenankan melihat,
berjalan, menggerakkan tangannya namun dia dijaga oleh Tuhan untuk berkata dan
mendengarkan hal-hal yang tidak berguna,atau bisa dikatakan dia seorang Tunarungu dan Tunawicara.
Kisah pertama kalinya bertemu
denggan Anggresia di sebuah ruang gedung Pusat Studi dan Layanan Difabel,
aku tersenyum dengan sosok ayu di hadapanku, dengan gaya sok keren aku
mengulurkan tanganku pada gadis itu, “ Kenalkan, nama saya Amri. Siapa namamu?”
Dia tersenyum, seraya melepaskan
tangannya dari jabatanku dan mengambil sebuah kertas dan pena,dengan anggun dia
mengukir kertas itu dengan sebuah nama ANGGRESIA. Saat itu hanya detakan
jantung yang teramat keras berdenyut, mencoba membuka kembali masa-masa saat
aku selalu mengeluh dengan hal kecil
yang belum dikabulkan oleh Tuhan padaku, namun
detik ini ada sosok Anggresia yang menyadarkanku pada sebuah kenyataan bahwa semua ini harus dijalani
dengan penuh kebahagiaan dan rasa
syukur, seceria raut wajah Anggresia
saat menunjukkan namanya di hadapanku.
Aku mengeluarkan buku dan penaku, lembaran
kertas dan ukiran pena itulah yang membuatku dan dia hanyut dalam sebuah
kedamaian bahwa perbedaan fisik tidak
membuat kami saling menjauhi.
Matahari kian meninggi, detik jarum jam tanganku menuju ke arah sebuah waktu seorang hamba untuk menuju Tuhannya, suara merdu adzan dzuhur ini
membuat percakapanku dan Anggresia
terhenti. Aku mempunyai keinginan untuk berjamaah sholat dzuhur
dengannya.Saat Anggresia melihat ke arahku, aku serta merta mengangkat
kedua tanganku layaknya orang takbirotul ihram ketika sholat, Anggresia
tersenyum dan menganggukkan kepalanya menandakan ia mengerti dengan ajakanku.
Aku memang sangat nol dengan bahasa isyarat yang digunakan untuk berkomunikasi
dengan seseorang yang mempunyai kekurangan dalam hal mendengar
maupun berbicara, maka aku membuat bahasa isyarat sendiri yang untungnya
Anggresia mengerti.
Singkat cerita, aku dan Anggresia sudah siap menggunakan mukena untuk sholat berjama’ah,
aku kami berdiri bersebelahan. Saat imam
sholat sudah memulai takbir pertamanya,Anggresia segera mengangkat
kedua tangannya,tanpa suara dia menyebut
Sang Pencipta, tanpa dusta ia mulai
membaca rangkaian bacaan sholat dalam hatinya,sederhana cara ia
berterimakasih pada Tuhan, namun kesederhaan itu yang membuat ia selalu
percaya bahwa kekurangan dalam dirinya bukan berarti membuatnya tidak
berguna, dan bukan berarti dia tidak bisa hadir di dunia ini dengan suka-cita serta kesederhaan cara
ia berterimakasihlah yang acapkali tidak bisa kita lakukan.
Akhirnya, kisah sederhana sekitar satu tahun silam itu
telah selesai ku catat, guratan kebahagian wajah ayu Anggresia masih tertata rapi dalam
ingatanku, aku ingin mengenangnya hingga nanti dan aku ingin mengabadikan semuanya dalam tulisan ini, meski tidak semua
kata-kata bisa mewakili namun setidaknya aku dan mungkin orang yang membaca
tulisan ini dapat menemukan inpirasi yang luar
biasa dari ketegaran hatinya menerima semua yang Tuhan berikan, untuk
memberi arti bahwa kita sama-sama manusia yang sudah selayaknya saling
menghargai dan memahami. Untuk mengenang kerja kerasnya dalam kuliah yang tentunya lebih sulit dibanding dengan kita yang mempunyai kelengkapan fisik, kalian
bisa membayangkan bagaimana sulitnya saat ia harus mengikut perkuliahan, namun dia tetap
bertahan berjuang, lalu sekarang
bagaimana dengan kita yang serba ada ini? Serba bisa melihat, mendengar,
berbicara, berjalan namun kita tetap biasa-biasa saja menanggapinya?semoga Anggresia memberi kita jutaan inspirasi untuk menghargai dan memaknai apa saja yang ada
dalam kehidupan ini.
Amri Evianti,
Jambi, 29 Desember 2012
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Aku dan
Sahabat Disabilitasku“ dalam rangka International Day of Person
with Disabilities, Museum Konferensi Asia-Afrika bekerja
sama dengan Mata Hati Indonesia menyelenggarakan lomba menulis blog Hari Internasional Penyandang Disabilitas
(HIPENDIS) 2012.
Disabilitas terburuk adalah jiwa yang terasing dari jasad kekasihnya.
ReplyDeletenote>
Ada beberapa kata di tulisannya yang nampak salah ketik. Cermati lagi, eman.
mantep bahasanya spektakuler nih Amri.. perlu banyak belajar darimu ini ^_^v good inspiring
ReplyDeleteby @karimaberkarya